"Sudah pergantian menteri, sebentar lagi kurikulum akan diganti. Tidak boleh tidak, pasti" ujar seorang rekan. Sudah melekat di kepala sebagian rakyat Indonesia bahwa berganti menteri akan adanya pengembangan, atau bahkan pergantian kurikulum di tingkat kebijakan nasional. Sebelum itu, acap banyak orang yang salah kaprah dalam menyikapi kurikulum itu sendiri. Kerangka berpikir yang terlalu umum membuat sebagian orang terutama pendidik sering menyikapi hal ini dengan salah. Kurikulum dalam pandangan mereka hanyalah kebijakan pemerintah, sering lupa bahwa pembuat kebijakan di dalam kelas adalah guru, dosen, tutor, pengajar atau apapun namanya.Masih basah bibir Presiden Prabowo, proses pelantikan masih sangat baru atau pelantikan menteri baru saja dilakukan. Kabinet 'gendut' yang disusun dengan formasi menteri dan wakil menteri menjadi bahan perbincangan di beberapa warung kopi. Tidak terkecuali kementerian pendidikan baik dasar, menengah, maupun tinggi. Tentunya ini menjadi obrolan rutin di kalangan rakyat setiap kali ada pergantian menteri, khususnya dikaitkan dengan kurikulum yang ikut berganti.
Menyikapi obrolan tersebut, beberapa hal menarik untuk dikuliti terkait pergantian, pengembangan, atau revisi kurikulum. Apakah kurikulum nasional akan berganti? Sebelum itu, ada baiknya kita bongkar kurikulum mulai dari akarnya.
Rencana Terstruktur
Sebagaimana penjelasan di atas, kurikulum tidak melulu harus dimaknai dengan kebijakan nasional. Namun, lebih spesifiknya kurikulum bisa diartikan sebagai prinsip-prinsip, nilai-nilai, tujuan, dan semua hal yang harus diajarkan di dalam kelas. Lebih luas lagi, kurikulum dapat dimaknai sebagai sekumpulan instrumen, dokumen legal, dan aturan yang memuat tujuan pendidikan yang harus dicapai berdasarkan analisis kebutuhan tempat dan waktu. (Oliva, 2005)Dalam penyusunannya, sebuah kurikulum dapat dimaknai sebagai rencana terstruktur dimulai dari proses mengetahui kebutuhan (needs assessment) lalu diikuti dengan penentuan tujuan pendidikan itu sendiri. Dua aspek ini sangat erat kaitannya dengan berbagai aspek masa kini. Dalam ruang lingkup yang luas, kurikulum pendidikan harus memiliki teropong jauh ke depan. Kebutuhan hari esok dengan melihat hari ini merupakan proses penyusunan anak tangga yang ideal. Sebagai contoh, dalam aspek ekonomi, politik, dan sosial, kurikulum pendidikan harus melihat dengan jeli apa yang dibutuhkan pada masa yang akan datang. Hal ini dilakukan agar dapat menentukan langkah aksi untuk menyikapi apa yang akan terjadi nanti. Setelah itu, penentuan aksi dengan berisikan metode, media, dan jangka waktu dapat dilakukan dengan mengacu kepada tujuan yang sudah dilakukan. Penyusun kurikulum harus dapat memperkirakan cara terbaik dalam menyikapi keadaan status quo. Menilik sedikit terhadap apa yang ada saat ini dalam berbagai aspek merupakan suatu keharusan. Penyusun kurikulum harus pandai memanfaatkan sumber daya yang ada.
Kebutuhan dan Titik Awal
Sebagai ilustrasi, pembelajaran bahasa Indonesia bagi anak-anak yang ada di wilayah urban akan memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan pelajar yang ada di wilayah rural. Kebutuhan dan titik awal melangkah akan berbeda. Beberapa waktu berlalu, pembelajaran di kelas terkesan monoton dengan pendekatan terpusat pada guru, namun dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan, melalui kajian empiris ditemukan bahwa pembelajaran yang paling baik adalah ketika memberikan pengalaman belajar kepada siswa itu sendiri. Maka muncul konsep learning by doing, dengan kata lain pembelajaran harus mengizinkan pelajar untuk melakukan sesuatu. Dalam istilah kurikulum merdeka, diadopsi dengan nama pendekatan projek dengan arah pengembangan karakter. Maka, ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa kurikulum itu harus berganti, waktu dan kebutuhan adalah 'salah dua' alasan yang harus pertimbangkan. Kebutuhan pembelajar dengan target berbeda setiap periode tertentu mengizinkan pemangku kebijakan untuk menentukan pula perencanaan pendidikan. Perencanaan pendidikan jangka luas itu, yang menurut Oliva, disebut sebagai kurikulum. Perencanaan sistematis dengan perangkat yang lengkap untuk menuju satu titik demi mengubah peradaban.
Tidak Gegabah
Periode pergantian kurikulum tidak ada ketentuan baku. Namun demikian, jika menilik siklus evaluasi besar dalam kurikulum merdeka hari ini, akan lebih bijak jika ditawarkan untuk melakukan satu kali siklus lagi, dengan artian tidak gegabah untuk mengganti kurikulum hari ini. Rancangan kurikulum yang dibentuk oleh Nadiem Makarim sedikit banyaknya mengundang kontroversi. Hal itu lumrah terjadi bagi setiap mereka yang tidak memahami kebutuhan dan keadaan hari ini. Oleh karena itu, kurikulum harus diganti apabila telah melampaui beberapa periode tertentu. Normalnya sepuluh tahun penerapan, sehingga menghasilkan karakter yang diinginkan dalam diri pembelajar, merupakan waktu yang ideal untuk menentukan kebijakan selanjutnya. Alangkah tidak bijak apabila belum ada tahapan evaluasi jangka panjang, namun kurikulum sudah harus diganti.Pengembangan kurikulum tampaknya lebih bijak dilakukan dibandingkan dengan desain kurikulum baru. Menilik nilai-nilai positif dari kurikulum terkini dengan dilakukan evaluasi dalam berbagai aspek adalah langkah baik dan bijak dibandingkan harus mengganti lalu mendesain ulang kurikulum yang dilaksanakan.
Proses yang NiscayaNarasi yang berkembang mulai ramai bahwa pergantian menteri pendidikan hari ini akan berdampak pada pergantian kurikulum yang digunakan. Banyaknya guru yang resah menunggu keputusan menteri tentang keberlangsungan kurikulum pendidikan agaknya sedikit berlebihan. Akan jauh lebih bijak jika guru memaknai pergantian kurikulum sebagai proses yang niscaya terjadi. Jangan sampai anak SMP yang tidak bisa membaca justru digunakan untuk menyalahkan kurikulum merdeka. Padahal anak SMP hari ini bukan produk TK dan SD pada 2020. Jangan sampai menjadi akademisi yang ikut-ikutan apa yang dibicarakan lingkungan sosial terkait kelemahan pelajar. Menyadarkan kesalahan berpikir itu kiranya jauh lebih penting. Sebagus apapun kurikulum yang diberikan oleh pemerintah untuk diturunkan ke dalam ruangan kelas, apabila agen yang menyampaikannya mengalami kendala, tentunya akan sangat percuma. Oleh karena itu, alih-alih mengganti kurikulum yang ada, lebih baik mengedepankan pembaharuan kualitas sumber daya manusia yang ada. Menaikkan kesejahteraan finansial serta status kepegawaian sepertinya cukup efektif untuk mengembangkan kualitas tenaga pengajar yang memahami sepenuhnya tugas dan tanggung jawab sebagai seorang guru.Haiyudi, S.Pd, M.Ed dosen Pengembangan Kurikulum Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung
Lihat juga video: Rapat Komisi II, Legislator PDIP Soroti Endorse Prabowo di Pilgub Jateng
[Gambas:Video 20detik]
(mmu/mmu)